Nostalgia sebagai Penjara: Tentang Hikari, Fracture Ray, dan Kebahagiaan yang Memudar
Sebuah tulisan tentang pelarian, kemarahan, dan absurditas hidup melalui lore dan gameplay Arcaea.
Sejak dulu saya punya relasi aneh dengan rhythm game. Meski layar HP sering jadi korban, jari-jari pegal, dan mata lelah karena terlalu lama menatap beat yang berkejaran, ada semacam sensasi nagih yang sulit dijelaskan. Dari game kasual sampai yang bikin frustrasi, saya selalu kembali. Salah satu yang paling membekas tentu saja Arcaea—game yang bukan cuma memperkenalkan saya pada genre musik yang sebelumnya saya hindari, tapi juga memperlihatkan bagaimana sebuah permainan bisa menyampaikan filosofi tentang luka, ingatan, dan keterasingan.
Saya ingat betul: dulu saya benci EDM. Saya tidak suka segala jenis musik elektronik. Musik jedag-jedug itu terasa terlalu keras, terlalu mekanik, tidak punya ruang untuk bernapas. Tapi kemudian saya mengenal artcore—genre yang tetap chaotic, tapi membungkus kekacauan itu dengan elemen orkestra dan atmosfer sinematik. Di sinilah Arcaea membuka mata saya: bahwa kekacauan bisa punya struktur, dan bahwa musik bisa jadi bentuk terapi eksistensial.
Arcaea membuat saya terpaku bukan hanya karena gameplay-nya yang adiktif, tapi karena cara ia menyelipkan narasi trauma dalam bentuk visual indah dan irama musik yang beragam; ada yang manis, ada yang intense. Setiap lagu seperti fragmen ingatan yang belum selesai. Setiap karakter adalah arsip luka yang dipaksa bergerak.
Disini saya ingin membicarakan karakter spesifik: Hikari dan Tairitsu.

Sekilas tentang Lore Arcaea: Ingatan, Cahaya, dan Perpecahan
Arcaea memiliki setting dunia kosong tempat dua karakter—Hikari dan Tairitsu—terbangun dan menjelajahi serpihan-serpihan ingatan. Dunia ini menyimpan dua kutub kenangan: yang satu dipenuhi memori bahagia (Hikari), sementara yang satu penuh memori pahit dan tragis (Tairitsu).
Secara harfiah, nama Hikari (ひかり, ヒカリ, 光) bermakna cahaya. Sedangkan, Tairitsu (対立) bermakna "confrontation", "opposition", atau "antagonism".
Awalnya, Hikari tenggelam dalam ingatan yang indah. Tapi alih-alih memberi kedamaian, kenangan ini justru mulai mengikis kewarasannya. Kebahagiaan yang terlalu banyak, terlalu konstan, membuat Hikari kehilangan rasa terhadap realitas—sebuah pelarian yang tampaknya menyelamatkan, tapi perlahan membunuh. Di sisi lain, Tairitsu menolak untuk menerima penderitaan sebagai bagian dari dirinya. Ia memberontak, menyimpan kemarahan, dan mengarahkannya ke luar.
"Heaven" is a Kind of Hell: Surga, Barangkali, Memang Seperti Itu
Salah satu kutipan dalam narasi Arcaea yang paling membekas buat saya datang dari refleksi Hikari:
Heaven is a kind of hell. The truth is, idle peace and thoughtless pleasure are anathema to passion. Imbibing and imbibing of happy things endlessly dulls the senses and makes 'happiness' indistinct, blurred, and ultimately without purpose—nothing has purpose.
Sekilas, ini terdengar seperti rengekan sinis atau keluhan karakter yang sedang tersesat. Tapi mari kita mundur sejenak. Mungkin, justru di sinilah letak jujurnya narasi Arcaea. Mungkin, 'surga' seperti yang dibayangkan dalam mitologi dan dogma itu memang ada—tapi sebagai ruang steril, tanpa krisis, tanpa kegagalan, tanpa kehilangan. Dan karena itulah, surga bisa menjadi neraka yang terselubung.
Tanpa penderitaan, tidak ada perbandingan. Tanpa kontras, tidak ada bentuk. Seperti cahaya yang kehilangan makna jika tidak ada bayangan untuk memantulkannya. Dalam dunia Hikari yang hanya terdiri dari kenangan manis, kebahagiaan kehilangan teksturnya. Ia menjadi datar, tumpul, dan tidak lagi memiliki makna.
Nietzsche menekankan pentingnya penderitaan sebagai jalan menuju pengaktifan kehendak untuk berkuasa (will to power). Dalam dunia yang sempurna, kehendak kehilangan pijakan. Tidak ada sesuatu untuk ditaklukkan, tidak ada celah untuk ditambal, tidak ada kekurangan untuk dilampaui. Dalam kondisi seperti itu, manusia justru dikutuk untuk mandek.
Plato menulis bahwa jiwa manusia menemukan bentuk terbaiknya dalam perjalanan menuju kebenaran, yang artinya: dalam proses, dalam krisis, dalam kejatuhan dan bangkit kembali. Jika 'surga' adalah akhir dari perjalanan, maka ia juga akhir dari pertumbuhan. Di titik inilah, surga berubah menjadi bentuk baru dari stagnasi eksistensial.
Dengan kata lain, narasi Hikari bukan hanya tentang bahaya dari kebahagiaan yang dipaksakan, tapi juga tentang krisis identitas ketika semua duka dihapus dari narasi hidup. Ia tidak tahu lagi siapa dirinya, karena dirinya hanya terbentuk tanpa pernah melalui konfrontasi dengan luka. Surga bukanlah ruang terang yang menyelamatkan, melainkan kotak putih tanpa batas—tempat di mana pikiran kehilangan orientasi karena tak ada apapun yang bisa disentuh.
Maka pertanyaannya: mungkinkah kita terlalu lama mengidealkan kebahagiaan sebagai kondisi tanpa luka? Atau justru kebahagiaan yang sejati hanya mungkin jika kita bersedia menerima kepedihan sebagai bagian dari lanskap emosional kita?
Penderitaan membuka ruang bagi kehadiran kebenaran yang tak bisa dicapai lewat kenyamanan. Dalam konteks Hikari, ketiadaan penderitaan bukan hanya menjadikannya tumpul secara afektif—ia menjadi buta terhadap eksistensinya sendiri.
Ngomong-ngomong, sampai sekarang Black Fate masih menjadi salah satu pack Arcaea favorit saya. Almost every single frame of this video could be a wallpaper.
Tairitsu vs Hikari: Dua Cara Menghadapi Luka
Tairitsu, di sisi lain, adalah kontras total. Ia tidak menghindar dari luka atau menyembunyikan, tapi juga tidak menyembuhkannya. Tairitsu adalah kemarahan yang tak tertuntaskan. Ia marah, hancur, dan akhirnya mengarahkan penderitaan itu ke luar. Ia menyimpan lukanya seperti relik. Merawatnya. Menjadikannya dasar identitas. Ada kekuasaan dalam penderitaan, dan Tairitsu menolak menyerahkannya.
Jika Hikari adalah bentuk dissociation yang lembut, Tairitsu adalah bentuk konfrontasi tanpa arah. Keduanya adalah ekstrem—dan keduanya gagal berdamai.
Dalam dunia Arcaea, Tairitsu adalah figur yang nyaris antagonistik, tapi sebenarnya ia hanya sedang menolak untuk dibujuk. Ia adalah mereka yang tidak percaya pada penyembuhan, karena penyembuhan terasa seperti pengkhianatan terhadap rasa sakit yang terlalu lama dipeluk.
Situasi ini membuat saya teringat pada kutipan Milan Kundera di The Unbearable Lightness of Being: "Happiness is the longing for repetition". Tapi bagaimana jika repetisi itu justru jadi racun? Bagaimana jika kenangan yang kita ulang bukan sekadar nostalgia, tapi bentuk denial?
Fracture Ray: Ketika Kenangan Indah Menjadi Kekacauan
Dari semua lagu di Arcaea, Fracture Ray adalah salah satu favorit saya. Secara gameplay, lagu ini intens, kacau, dan penuh glitch yang seakan memaksa pemain untuk kehilangan kontrol. Tapi justru di situlah letak kekuatannya.
Lagu ini bukan sekadar challenge—ia adalah simbol dari keretakan psikis Hikari. Musiknya menyerupai breakdown mental: ada layer demi layer suara yang saling bertabrakan, tempo yang tak konsisten, dan suasana yang berubah drastis. Ini bukan musik bahagia, tapi mimpi buruk yang disamarkan oleh warna pastel dan memori manis.
Visual saat memainkan Fracture Ray pun mencerminkan dunia yang tidak lagi stabil. Layar glitch dalam mode anomaly, notasi muncul dalam pola-pola yang tidak bisa diprediksi. Bagi saya, ini adalah perwujudan konkret dari kutipan tadi—"heaven is a kind of hell". Kebahagiaan yang dipaksa, yang terus diulang tanpa ruang untuk kesedihan, pada akhirnya hanya memunculkan kehampaan.
All anomaly events on Arcaea.
Nostalgia sebagai Pelarian: Budaya Positif yang Menyesatkan
Dalam dunia yang semakin menuntut kita untuk selalu 'baik-baik saja', Arcaea justru mengingatkan bahwa tidak apa-apa untuk sesekali merasa hancur. Hikari tidak pernah memberi ruang untuk air mata, dan itulah awal dari kehancurannya. Tairitsu, sebaliknya, tidak memberi ruang untuk harapan.
Budaya toxic positivity hari ini mengajak kita untuk fokus hanya pada hal baik, menghapus pengalaman buruk, dan berpura-pura bahwa luka tidak pernah ada. Tapi seperti Hikari, kita tahu bahwa terlalu banyak 'kebahagiaan' juga bisa membunuh.
Dan negativity berlebihan, tentu saja, sama buruknya. Ketika tidak bisa melihat harapan apapun, dan menjadikan konfrontasi serta kemarahan tanpa arah sebagai solusi juga tidak bisa dibenarkan.
Absurditas dan Irama yang Palsu
Saya jadi ingat Camus. Bahwa satu-satunya pertanyaan filosofis yang benar-benar penting adalah: mengapa kita tidak bunuh diri? Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menulis tentang absurditas hidup dan bagaimana manusia terus memaksakan makna pada sesuatu yang diam. Saya pikir Hikari dan Tairitsu adalah dua cara yang berbeda dalam menjawab absurditas itu.
Hikari menciptakan makna palsu: dengan musik, dengan warna-warna pastel, dengan harapan yang dibangun dari debu. Tairitsu menolak memberi makna: ia memilih marah, menolak narasi, menolak resolusi.
Dan saya? Saya belum tahu. Kadang saya Hikari. Kadang saya Tairitsu. Kadang saya hanya pemain yang mencoba full combo di lagu yang bahkan tidak saya pahami.
Arcaea dan Kita: Memori Mana yang Dipilih?
Mungkin pertanyaan yang ditawarkan Arcaea bukan tentang siapa yang benar antara Hikari dan Tairitsu, tapi tentang bagaimana kita memilih untuk mengenang. Apakah kita berani melihat kenangan pahit dan tetap berdiri? Ataukah kita memilih bersembunyi dalam ilusi manis yang lambat laun mengikis diri?
Arcaea, bagi saya, adalah pengingat bahwa rhythm game bisa lebih dari sekadar game. Ia adalah cermin dari kondisi psikologis modern: ketakutan akan kekosongan, pelarian ke dalam nostalgia, dan kesulitan untuk memaknai luka. Dalam jedag-jedug yang teratur itu, ada pesan sunyi yang menunggu didengar.
Dan kadang, pesan itu muncul dari lagu yang paling susah dimainkan.
Penutup: Apa Game yang Menghantui Kamu?
Saya tidak lagi memainkan Arcaea sesering dulu karena kesibukan hidup. Tapi setiap kali saya mendengar Fracture Ray, tubuh saya masih refleks menegang. Ada memori di sana. Tentang kesendirian, tentang luka yang tak pernah selesai, tentang harapan yang dibuat-buat.
Barangkali, kita terus bermain bukan karena hidup punya makna, tapi karena kita penasaran pada irama berikutnya. Pada not yang belum terdengar. Pada beat yang mungkin bisa—entah bagaimana—membawa kita keluar dari kekacauan.
Dari Runnilune, yang masih terus belajar.
Ditulis oleh Raihan Khairunnisa.
(Ohya, saya sampai bikin playlist khusus untuk lagu-lagu Arcaea yang saya suka. Kalau tertarik, nanti saya share. Beragam genre, dari musik intense yang barangkali terlalu asing untuk pengalaman pertama—sampai ke yang jauh lebih ramah.)
tags: bahasa indonesia, musings, game.
If this piece resonates with you, feel free to share your own story—maybe your favorite game, lore that memorable, or simply how a character from game has changed the way you think. I’m always curious about the inner processes behind people’s thoughts. :)
Thank you for reading.
If this sparked any useful overthinking, quiet epiphanies, or narrative spirals you didn’t ask for, feel free to fuel the next one with a cup of caffeine. Preferably overpriced. At a café where I pretend to write but mostly observe human absurdity.
No pressure. Just deeply caffeinated gratitude. :D