Mencium Indonesia dalam Wangi-Wangian
Parfum bukan sekadar aroma—ia adalah jejak sejarah, kelas, dan kuasa. Sebuah tulisan singkat tentang bagaimana menghidu bisa jadi arsip kultural dan medan perlawanan yang tak terdengar.
Parfum bukan cuma soal wangi. Ia adalah arsip tak tertulis yang merekam jejak sejarah, kelas sosial, dan identitas budaya. Di Indonesia—tanah yang harum oleh cengkeh dan pala sejak abad ke-15—aroma bukan sekadar pelengkap gaya hidup, tapi bagian dari ingatan kolektif. Sayangnya, sejarah penciuman kita sering ditulis ulang lewat label asing. Kita hanya jadi “notes”, bukan narator. Tulisan ini adalah ajakan untuk mencium ulang Indonesia. Lewat wewangian, kita bisa membaca ulang siapa diri kita, dan memilih apakah ingin jadi peracik cerita sendiri. :)

Aroma Sebagai Arsip Budaya yang Tak Terucap
Jika kata-kata adalah fondasi peradaban, maka aroma adalah bayangannya yang paling purba—tak terlihat, tapi selalu terasa. Bahasa bisa dinegosiasikan, ditata, bahkan dimanipulasi. Tapi aroma? Ia menembus waktu tanpa peringatan. Menyusup ke dalam sistem limbik kita sebelum sempat difilter oleh akal sehat.
Di antara bait puisi dan sisa wangi di kerah baju, terselip satu hal yang sering diremehkan: bau. Ia bukan sekadar reaksi kimia antara molekul volatil dan reseptor penciuman. Ia adalah bentuk embodied knowledge—pengetahuan yang hidup dalam tubuh. Bau bisa menyimpan nostalgia, trauma, hingga hasrat. Maka tak heran jika satu aroma bisa membangkitkan rasa rindu, sedih, atau damai tanpa alasan logis.
Aroma adalah penanda identitas yang subtil. Ia membentuk impresi tanpa berbicara, mengendap diam-diam di antara ruang publik dan privat. Maka ketika kita membicarakan wangi, kita juga sedang bicara tentang status, jarak sosial, dan afiliasi budaya. Ia bisa jadi puisi yang menguap. Penanda kelas. Penanda sejarah. Penanda rasa.
Kolonialisme Aroma: Ketika Bau Menjadi Alat Kekuasaan
Karl Schlögel dalam The Scent of Empire (2021) menulis bahwa parfum bukan sekadar produk estetika ataupun hanya soal wangi; ia adalah manifestasi ideologi. Dalam bukunya, Schlögel membandingkan dua parfum legendaris: Chanel №5 dan Red Moscow. Keduanya bukan cuma simbol kemewahan, tapi juga representasi dari dua kutub ideologis besar abad ke-20: kapitalisme Barat dan komunisme Soviet.
Chanel №5 lahir di Paris tahun 1921—diformulasikan oleh perfumer Ernest Beaux atas permintaan Coco Chanel—dan sejak itu melekat sebagai simbol modernitas, kebebasan perempuan, dan gaya hidup borjuis Eropa. Sementara Red Moscow (Красная Москва), dikembangkan di Uni Soviet sekitar periode yang sama, adalah versi “rakyat” dari kemewahan olfaktori. Ia diklaim sebagai “wewangian revolusioner”, diproduksi massal dan dijadikan ikon parfum nasional Soviet. Dua aroma, dua ideologi.
Apa yang dibawa hidung bukan hanya kenangan, tapi juga propaganda yang bersaing lewat citra, gender, dan kekuasaan simbolik.
Hal serupa bisa dilihat dalam sejarah Indonesia. Rempah-rempah Nusantara bukan hanya bahan dagangan, melainkan alasan kolonialisme terjadi. Cengkeh, pala, dan kayu manis jadi simbol kuasa—bukan karena baunya saja, tapi karena siapa yang boleh memilikinya.
Dalam kolonialisme olfaktori, hierarki diciptakan: aroma Eropa diasosiasikan dengan kebersihan, kesopanan, dan kemajuan; sedangkan bau tubuh tropis, kemenyan, atau rempah lokal dicap sebagai "eksotik", liar, bahkan jorok. Sementara itu, aroma khas kita dikemas ulang jadi parfum mewah oleh merek luar, lalu dijual kembali ke pasar lokal dengan narasi yang tak lagi mencerminkan asal-usulnya.
Ironisnya, kita justru bangga memakai parfum impor yang isinya vetiver Garut, nilam Aceh, dan cendana Kalimantan. Kita jadi kebun wangi dunia, tapi tak menulis labelnya sendiri. Semua hanya sekadar jadi “notes” aroma, tanpa label asal. Ini bukan cuma bisnis, tapi soal representasi. Siapa yang boleh mencium, dan siapa yang hanya jadi sumber bahan baku?
Parfum Lokal Sebagai Ekspresi Budaya yang Terpinggirkan
Kita jarang menganggap parfum sebagai bagian dari ekspresi kebudayaan Indonesia. Padahal dari dupa di rumah ibadah, aroma melati di acara kematian, hingga wangi minyak kayu putih di tubuh anak kecil—semua itu adalah bagian dari narasi olfaktori kita.
Penciuman adalah indera paling primal dan paling emosional. Ia bekerja langsung ke sistem limbik; pusat emosi dan memori. Jadi jangan heran kalau bau masakan ibu, aroma hujan pertama, atau wangi kamar kos waktu kuliah bisa memicu nostalgia yang tak bisa dijelaskan. Tubuhmu sedang membuka dokumen lama.
Sebagai scent creator kecil-kecilan, saya melihat bahwa meracik wewangian mirip dengan menulis puisi. Ada lapisan makna, konteks, dan perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan rasio. Ketika saya mencampur wewangian pandan dengan kopi tubruk atau cajuput, saya tak hanya menciptakan aroma—saya sedang menyimpan arsip kecil yang lahir dari pengalaman lokal. Cerita yang tak ada di katalog global, tapi hidup di tubuh orang Indonesia.
Namun estetika aroma lokal masih sering dianggap inferior. Ketika Barat bisa menjual "matcha Jepang" atau "oud Arab" sebagai tren mewah, beberapa dari kita menyebut kemenyan dan minyak gosok sebagai bau "kampungan". Padahal di situlah kekuatannya: jujur, kontekstual, dan dekat.
Menuju Kedaulatan Aroma: Menghidu Ulang Indonesia
Jadi, apa arti merdeka secara olfaktori? Barangkali, sesederhana mulai menghargai aroma yang dekat dengan kita—menghargai bau yang tidak harus memenuhi standar kebersihan atau netralitas ala Barat. Menganggap aroma bukan hanya sebagai pelengkap penampilan, tetapi sebagai bagian integral dari narasi personal dan budaya kita.
Indonesia tak kekurangan bahan dan cerita. Dari rempah-rempah yang menjadi ikon bangsa, hingga wangi khas yang mewakili tradisi lokal, kita hanya membutuhkan keberanian untuk merayakannya, mengangkatnya, dan memberi makna baru terhadapnya. Parfum lokal bukan hanya soal wangi, tapi juga tentang siapa yang berhak menyuarakan cerita di balik botol parfum tersebut.
Kita bisa mulai dengan mencintai dan merayakan apa yang ada di sekitar kita, dan mengubah perspektif kita terhadap parfum lokal. Tanpa harus mengandalkan label internasional, kita bisa menciptakan narasi olfaktori yang khas dan otentik. Dan jadi, lain kali ketika kamu menyemprotkan parfum, coba tanyakan pada diri sendiri: siapa yang menulis cerita dalam botol itu? Dan cerita siapa yang sedang kamu kenakan?
Karena lewat sebotol wangi yang tepat, kamu bisa pulang ke rumah—tanpa bergerak satu langkah pun.
Dari Runnilune, yang masih terus belajar
Ditulis oleh Raihan Khairunnisa.
tags: bahasa indonesia, scent, thoughts
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Semoga tulisan ini bisa mengajak kamu menghidu ulang, bukan cuma wewangian di sekeliling, tapi juga identitas yang melekat di tubuh dan sejarah kita. Kalau kamu punya cerita, pertanyaan, atau aroma yang ingin dibicarakan, kolom komentar selalu terbuka. :D
Thank you for reading.
If this sparked any useful overthinking, quiet epiphanies, or narrative spirals you didn’t ask for, feel free to fuel the next one with a cup of caffeine. Preferably overpriced. At a café where I pretend to write but mostly observe human absurdity.
No pressure. Just deeply caffeinated gratitude. :D
Barangkali tertarik, kamu bisa baca referensi tambahan terkait disini. :)
Le Guérer, Annick. Scent: The Mysterious and Essential Powers of Smell. Kodansha, 1992.
Classen, Constance, David Howes, and Anthony Synnott. Aroma: The Cultural History of Smell. Routledge, 1994.
Seremetakis, C. Nadia, ed. The Senses Still: Perception and Memory as Material Culture in Modernity. University of Chicago Press, 1996.
Schlögel, Karl. The Scent of Empire: Chanel №5 and Red Moscow. Polity Press, 2021.