Bahasa Sebagai Bentuk Perlawanan: Apa yang Saya Pelajari dari Belajar Bahasa Rusia
Katanya belajar bahasa cuma soal kosakata & tata bahasa—tapi siapa sangka, belajar Rusia malah bikin saya mikir panjang. Turns out, language is a battlefield and I’ve been fighting on the wrong front.
If you’re curious about how learning Russian can radically reshape the way you think about power, language, and resistance, I’ve also published an English adaptation of this essay on Medium. It’s more than a translation—some sections have been expanded and reframed for a wider context. And it is open access. :)
Read the English version: To Speak Is to Resist: Lessons from the Russian Language
Ada satu hal yang tidak saya sangka akan mengubah cara saya memahami dunia: belajar bahasa Rusia. Awalnya, motivasi saya cukup sederhana: saya penasaran terhadap puisi-puisi esais Rusia, serta ingin bisa menikmati musik dan sastra mereka dalam bentuk aslinya. Tetapi, seiring waktu, saya menyadari bahwa perjalanan belajar bahasa ini bukan sekadar tentang menghafal alfabet Кириллица atau membiasakan lidah melafalkan konsonan yang saling bertumpuk seperti “взгляд”.
Belajar bahasa Rusia ternyata mengubah otak saya. Secara harfiah. Dan ini bukan sekadar retorika hiperbolik.
Neuroplastisitas: Bahasa Bukan Sekadar Alat, Tapi Pisau Bedah Realitas
Saya mulai memahami bahwa mempelajari bahasa bukan semata-mata tentang menambah “skill”, tetapi tentang menyusun ulang pola pikir. Fenomena ini dikenal sebagai neuroplastisitas — kemampuan otak untuk beradaptasi secara struktural dan fungsional akibat pengalaman atau pembelajaran baru.
Ketika saya mempelajari struktur kalimat Rusia yang berbeda drastis dari bahasa Indonesia maupun Inggris, otak saya dipaksa untuk membentuk ulang cara memproses informasi. Subjek bisa tidak disebutkan, kata kerja berubah bentuk berdasarkan kasus gramatikal, dan satu kalimat bisa membawa makna politis hanya karena pilihan kata yang digunakan.
Semakin saya mendalami, saya mulai menyadari: jika cara kita berbicara bisa memengaruhi cara kita berpikir, maka bahasa bukan hanya alat komunikasi. Bahasa adalah struktur yang membentuk persepsi kita atas realitas.
Dan dari kesadaran ini, lahirlah rangkaian pertanyaan dan pemikiran yang lebih dalam.
Dari Bahasa ke Politik: Ketika Kata Menjadi Arena Kekuasaan
Belajar bahasa Rusia secara intensif membawa saya ke ranah yang tidak terelakkan — politik. Tidak mungkin memahami puisi Anna Akhmatova tanpa memahami Stalinisme. Tidak mungkin mencerna absurditas Daniil Kharms tanpa menyelami sejarah sensor di era Soviet.
Saya makin yakin bahwa produk budaya tidak pernah berdiri di ruang hampa. Literatur, musik, puisi, teater — semuanya adalah bentuk respons terhadap tekanan, pengalaman kolektif, dan dinamika kekuasaan. Ketika negara menekan, seniman merespons. Kadang secara terang-terangan, kadang melalui metafora. Tetapi konteks sosial-politik selalu hadir sebagai fondasi yang tak terelakkan.
Bahasa dalam hal ini bukan hanya medium. Ia menjadi medan pertempuran.
Bahasa sebagai Resistensi dan Pertahanan
Ada satu titik ketika saya sadar: bahasa dapat digunakan sebagai alat kontrol, tetapi juga sebagai senjata perlawanan. Ketika kekuasaan ingin menundukkan suatu kelompok, salah satu cara yang paling efektif adalah menekan bahasanya.
Karena jika seseorang berhenti berpikir dalam bahasanya sendiri, maka secara perlahan ia berhenti berpikir dengan kerangka nilai dan identitasnya.
Dalam konteks Rusia dan negara-negara satelit bekas Soviet, banyak narasi tentang bagaimana bahasa lokal ditekan, digantikan, atau dilenyapkan. Bahasa Ukraina, misalnya, sempat dilarang di institusi-institusi pendidikan. Ketika saya membaca puisi dalam bahasa asli yang dilarang untuk waktu lama, saya tidak bisa tidak merasa bahwa saya sedang membaca bentuk keberanian. Puisi tersebut bukan hanya ekspresi artistik, melainkan bentuk pertahanan diri dari kehancuran identitas. Bahasa menjadi barikade terakhir antara individu dan penghapusan kolektif.
Setiap Kata Menyimpan Sejarah Ideologi
Salah satu hal yang paling membuat saya terkesima dalam mempelajari bahasa Rusia adalah betapa sarat makna historis dan ideologis setiap katanya. Ambil contoh kata “товарищ” (tovarishch / comrade). Dalam era Soviet, kata ini tidak hanya berarti teman atau sahabat, tetapi menjadi simbol kolektivisme dan loyalitas ideologis. Hingga hari ini, penggunaan kata tersebut masih membawa nuansa tertentu — kadang sinis, kadang nostalgik — tergantung siapa yang menggunakannya dan dalam konteks apa.
Belajar bahasa bukan hanya tentang mencari padanan kata, melainkan memahami sejarah makna. Dan setiap makna selalu dikonstruksi oleh konteks sosial-politik tertentu.
Bahasa Mengajarkan Empati dan Perspektif
Satu hal yang sangat berharga dari pengalaman belajar bahasa Rusia adalah kesadaran bahwa setiap bahasa membentuk realitasnya sendiri. Dalam bahasa Rusia, struktur kepemilikan tidak dinyatakan dengan “I have”, melainkan dengan “У меня есть” (harfiah: “ada pada saya”). Kepemilikan bukan tentang memiliki secara mutlak, melainkan tentang akses atau kedekatan.
Dari hal-hal kecil seperti ini, saya mulai memahami bahwa cara berpikir manusia terbentuk oleh cara mereka menamai dunia. Dan dari situ, saya belajar empati. Saya belajar untuk berpikir dari sudut pandang orang lain. Untuk memahami bahwa sesuatu yang “logis” dalam satu bahasa bisa jadi tidak masuk akal dalam bahasa lain.
Bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk komunikasi, tapi justru jendela menuju kedalaman pemahaman.
Bahasa sebagai Dunia Itu Sendiri
Bahasa tidak hanya merepresentasikan dunia. Ia membentuk dunia. Tidak mungkin kita membicarakan trauma jika kita tidak punya kata untuk menyebutnya. Tidak mungkin kita merayakan identitas jika bahasa yang kita gunakan untuk mengekspresikannya dianggap inferior. Tidak mungkin kita berpikir merdeka jika satu-satunya bahasa yang kita kuasai telah dimuati oleh narasi kekuasaan.
Bahasa adalah ruang hidup. Bahasa adalah alat untuk bertahan. Bahasa adalah tindakan politik.
Dan ketika seseorang memilih untuk belajar bahasa yang tidak populer, atau yang secara historis terpinggirkan, itu adalah bentuk resistensi sunyi. Sebuah penolakan terhadap narasi tunggal. Sebuah pernyataan bahwa keberagaman cara berpikir layak dipertahankan.
Jadi, Mengapa Belajar Bahasa Rusia?
Karena dari satu bahasa, saya belajar sejarah, politik, seni, dan yang terpenting: cara baru untuk memahami dunia. Saya mulai melihat bahwa realitas bukanlah sesuatu yang tunggal atau objektif sepenuhnya. Realitas dibentuk oleh bahasa. Dan karena itu, belajar bahasa bukanlah tentang menjadi lebih “pintar”, tetapi tentang memperluas batas pemahaman.
Ketika dunia makin didominasi oleh bahasa-bahasa besar dengan narasi homogen, mungkin belajar bahasa asing yang tidak populer adalah salah satu bentuk perlawanan yang paling radikal — dan paling sunyi.
Karena selama kamu masih bisa menamai dunia dengan cara kamu sendiri, kamu belum kalah. Dan mungkin itu yang paling penting untuk dipertahankan.
Dari Runnilune, yang masih terus belajar.
Ditulis oleh Raihan Khairunnisa.
tags: bahasa indonesia, language, thoughts
Jika tulisan ini menarik untuk kamu, atau kamu juga memiliki pengalaman belajar bahasa asing yang mengubah cara pandangmu terhadap dunia, silakan berbagi! Karena kadang, revolusi besar dimulai dari kata pertama yang berani diucapkan. :D
Thank you for reading.
If this sparked any useful overthinking, quiet epiphanies, or narrative spirals you didn’t ask for, feel free to fuel the next one with a cup of caffeine. Preferably overpriced. At a café where I pretend to write but mostly observe human absurdity.
No pressure. Just deeply caffeinated gratitude. :D