Estetika Kesepian: Dari Evangelion Sampai Wong Kar Wai
Dan mungkin, itu cara kita bertahan: dengan menjadikan sunyi sebagai sesuatu yang indah. Dengan mengakuinya, bukan mengatasinya.
For those who prefer reading in English, I’ve also published an adaptation of this essay on Medium, focusing on the aesthetics of loneliness through the lens of Neon Genesis Evangelion and Wong Kar Wai’s cinema. It’s more than a translation—some sections have been expanded and reframed for a wider context. And it is open access. :)
Read the English version: The Aesthetics of Loneliness: From Evangelion to Wong Kar Wai.
"We live in a society that celebrates connection, but produces loneliness as its byproduct."
Di era serba terhubung, kesepian justru menjelma jadi lanskap emosional yang paling familiar. Ia hadir dalam bentuk visual, audio, bahkan aroma—menghantui ruang kosong kamar, layar monitor, dan sela-sela scrolling malam hari. Kesepian hari ini bukan hanya perasaan, melainkan gaya hidup. Estetika. Sebuah ruang eksistensial yang kita tata agar nyaman untuk ditinggali.
Pop culture dari Asia Timur, secara khusus, jadi ladang subur bagi representasi keterasingan yang tak lagi malu-malu. Dalam anime dan sinema, kita melihat karakter-karakter yang tidak ingin diselamatkan, hanya ingin dimengerti. Dua karya menonjol dalam hal ini: Neon Genesis Evangelion dan film-film Wong Kar Wai. Berbeda dalam medium dan estetika, tapi sejiwa dalam atmosfer: keheningan, kegetiran, dan jarak.
Evangelion: Trauma, Alienasi, dan Bunyi Mesin

Tidak ada protagonis konvensional dalam Evangelion. Shinji Ikari bukan penyelamat dunia. Ia adalah bocah empat belas tahun yang lumpuh secara emosional, dilempar ke medan perang eksistensial. Ia bukanlah "chosen one" dalam pengertian mitologis, melainkan korban dari sistem yang terus-menerus mereproduksi trauma: keluarga disfungsional, otoritas yang manipulatif, dan dunia yang dingin secara moral.
Setiap adegan bukan hanya tentang pertempuran antar robot dan makhluk asing (Angel), melainkan pergulatan batin yang lambat dan berisik. Eva Unit-01 bukan instrumen heroisme, melainkan proyeksi literal dari tubuh yang dipaksa untuk bergerak walau jiwa tertinggal di belakang. Simbolisme psikoseksual, religius, dan eksistensial bertumpuk: tidak untuk menjelaskan, tapi untuk membingkai pengalaman menjadi manusia dalam dunia yang absurd.
Hideaki Anno menciptakan dunia di mana keheningan lebih mengganggu dari dentuman. Frame panjang penuh kehampaan, suara mesin berderak, dan dialog yang seringkali lebih banyak diamnya ketimbang kata. Anno, yang diketahui mengalami depresi berat saat mengerjakan serial ini, menjadikan Evangelion sebagai ruang otobiografis. Penonton bukan hanya melihat Shinji, tapi masuk ke dalam ruang psikisnya. Di sinilah estetika kesepian menemukan bentuk mentahnya: alienasi sebagai pengalaman tak terhindarkan.

Evangelion menyodorkan pertanyaan Camusian: ketika dunia tak punya makna, haruskah kita tetap hidup? Tapi alih-alih heroisme absurd, yang muncul adalah rasa lelah. Shinji tidak mencari makna. Ia hanya ingin diterima, tanpa tuntutan. Tidak ingin menyelamatkan dunia, hanya ingin dipeluk. Dan penonton, yang menyaksikan kehancurannya pelan-pelan, tidak bisa tidak merasa: ini tentang kita juga. Tentang generasi yang tumbuh dalam keluarga pecah, ekspektasi sistemik, dan krisis identitas yang sunyi.
Wong Kar Wai: Cahaya Neon dan Sentuhan yang Tertunda
Kalau Evangelion adalah dunia internal yang bising dan rusak, Wong Kar Wai justru mengajak kita menari pelan dalam keheningan. Lewat In the Mood for Love hingga Chungking Express, Wong menciptakan ruang-ruang sempit yang penuh penantian. Lorong hotel, apartemen kecil, restoran muram—semua jadi panggung bagi keintiman yang tak pernah tuntas. Kesepian di sini tidak eksplosif, melainkan terkompresi. Tertahan. Seperti napas yang tidak pernah dilepaskan sepenuhnya.
Karakter-karakternya tidak kesepian karena sendiri. Mereka kesepian meski berdampingan. Karena dalam dunia Wong Kar Wai, waktu adalah antagonis diam-diam. Ia memisahkan bukan hanya secara spasial, tapi juga emosional. Percakapan yang terlambat, cinta yang tak diucapkan, perasaan yang tidak pernah disampaikan karena waktu sudah berjalan terlalu jauh. Musik mengalun pelan, kamera mengikuti dari belakang, dan waktu berjalan dalam tempo lambat. Bukan karena narasi mandek, tapi karena emosi tertahan.
Estetika Wong Kar Wai adalah repetisi: langkah kaki, lagu yang diputar ulang (Yumeji’s Theme yang menghantui), rutinitas harian. Tapi dalam repetisi itu, ada usaha bertahan. Ada perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata, hanya bisa dibiarkan mengendap dalam adegan yang terlalu panjang untuk sinema biasa, tapi terlalu indah untuk disingkat. Wong menciptakan pengalaman visual yang nyaris tekstural: hujan di luar jendela, asap rokok, cahaya lampu neon yang patah-patah.
Jika Evangelion adalah kesepian dalam krisis eksistensial, Wong Kar Wai adalah kesepian yang berbaur dengan nostalgia. Rindu pada sesuatu yang belum sempat terjadi. Trauma yang tidak datang dari kekerasan, tapi dari ketiadaan. Dari peluang yang terlewat.
Kesepian yang Dirayakan
Kita hidup di zaman di mana segala hal bisa dijelaskan, diakses, dan dipamerkan. Tapi justru di tengah keterbukaan itu, kesepian jadi estetika yang paling jujur. Ia hadir di musik lo-fi, postingan sadcore, parfum yang lembut dan mellow, bahkan dalam gaya berpakaian dark academia. Semua ini adalah bentuk perayaan atas rasa yang tidak ingin disembuhkan.
Estetika kesepian memberikan kendali. Ia mengubah sesuatu yang biasanya tersembunyi menjadi identitas. Kita tidak lagi malu mengakui bahwa kita letih, kosong, atau tidak tahu harus berbicara apa. Kita hiasi rasa itu dengan filter vintage dan background jazz lambat. Kita ubah trauma jadi caption puitis.
Dalam lanskap budaya hari ini, kesepian tidak lagi disembunyikan. Ia dikurasi. Dijadikan elemen estetis dalam bentuk desain grafis, editan video, lirik lagu, sampai packaging produk. Bahkan brand menggunakan kesepian sebagai nilai jual: film yang "melankolis", musik yang “mellow”, atau produk yang "sunyi namun hangat". Kita lihat ini di iklan-iklan Jepang, dalam slow cinema Korea, sampai rilisan musik indie yang mengusung keheningan sebagai ciri produksi.
Dan mungkin, itu cara kita bertahan: dengan menjadikan sunyi sebagai sesuatu yang indah. Dengan mengakuinya, bukan mengatasinya. Karena di balik estetika itu ada pengakuan kolektif: bahwa kita semua sedang mencari cara untuk tetap waras, dengan rasa yang sulit dijelaskan.
Kita, yang Menatap dari Kaca Jendela
Kita menyukai karakter-karakter seperti Shinji dan Su Li-zhen bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka rapuh dengan cara yang familiar. Mereka tidak menyelesaikan konflik besar, tidak meraih kemenangan dramatis. Tapi mereka mencoba untuk hidup, di tengah dunia yang tidak memberi mereka alasan untuk terus ada. Mereka berdiri sebagai cermin yang tidak memaksa kita berubah, hanya mengingatkan: kamu tidak sendiri dalam perasaan ini.
Dan mungkin, di situlah kekuatan estetika kesepian. Ia tidak menawarkan solusi, tapi menyediakan ruang. Ruang untuk merasa, untuk gagal, untuk diam. Untuk menyadari bahwa kesepian bisa jadi tempat tinggal. Bukan tempat terbaik, tapi mungkin satu-satunya tempat yang terasa jujur.
Dari Runnilune, yang masih terus belajar.
Ditulis oleh Raihan Khairunnisa.
tags: bahasa indonesia, cinema, thoughts
Jika tulisan ini menarik untuk kamu, atau kamu juga punya film yang terasa personal dengan perasaan kamu, silahkan berbagi disini. :)
Thank you for reading.
If this sparked any useful overthinking, quiet epiphanies, or narrative spirals you didn’t ask for, feel free to fuel the next one with a cup of caffeine. Preferably overpriced. At a café where I pretend to write but mostly observe human absurdity.
No pressure. Just deeply caffeinated gratitude. :D