Aku Tak Pernah Bisa Berbohong pada Bunda
Tentang bagaimana rumah—dan ibu—menjadi satu-satunya tempat di mana kita bisa benar-benar jujur. Tentang cinta yang tidak selalu diucapkan, tapi selalu terasa.

Beberapa hari terakhir hidup terasa begitu berat. Bukan karena satu pukulan besar yang datang tiba-tiba, tapi justru karena hal-hal kecil yang pelan-pelan runtuh. Seperti genting yang satu per satu jatuh dari atap, tanpa suara besar, tapi tetap membuat rumah ini tak lagi bisa melindungi. Gagal di satu hal. Ditolak di hal lain. Rencana yang batal. Waktu yang terasa sia-sia. Saya mencoba menyikapinya biasa saja, tetap bekerja, tetap memenuhi agenda, tetap bercanda, tetap menanggapi pesan-pesan dengan emoji yang tepat. Tapi lelahnya nyata, dan sedihnya, tak bisa lagi disangkal.
Saya pikir saya cukup berhasil menyembunyikan semuanya. Setidaknya, cukup rapi untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Tapi ibu—atau, seperti saya memanggilnya, Bunda—selalu tahu. Bahkan sebelum saya tahu saya sedang tidak baik-baik saja.
Kami tidak sedang bicara panjang. Tidak sedang mengupas isi hati. Hanya percakapan sepotong di sela hari, seperti biasanya. Tapi ketika Bunda bertanya dengan suara pelan: "Kamu kenapa?"—saya menangis. Begitu saja. Seolah kalimat itu membuka pintu-pintu yang sudah lama saya segel. Tidak di telepon. Tidak lewat pesan. Ia hanya berdiri beberapa langkah dari saya, dan dunia terasa terlalu sunyi untuk berbohong.
Hubungan Anak dan Orang Tua: Rumit, Tapi Nyata
Hubungan antara anak dan orang tua tidak pernah sederhana. Bahkan dalam kasih sayang yang paling tulus pun, selalu ada lapisan-lapisan tak terlihat yang sulit dijelaskan. Saya dan Bunda sangat berbeda. Ia ekspresif, terang-terangan menyatakan cinta dan kekhawatiran. Saya tidak. Saya lebih suka menulis. Atau diam. Atau mengalihkan perhatian dengan bercanda. Tapi bukan berarti saya tak sayang. Justru karena saya terlalu sayang, saya sulit menemukan cara yang tepat untuk menyampaikannya.
Ada semacam rasa bersalah yang tumbuh diam-diam saat kita merasa tidak bisa membahagiakan orang tua kita. Saat kita merasa belum berhasil, belum mandiri sepenuhnya, belum bisa membalas segala pengorbanan yang sudah mereka berikan sejak kita belum bisa bicara. Rasa bersalah itu menumpuk bersama rasa takut: takut mengecewakan, takut mereka tidak sempat melihat kita bahagia, takut kehilangan.
Namun dari semua ketakutan itu, yang paling menyesakkan adalah ketika saya sadar bahwa saya tak pernah bisa membohongi Bunda. Ia tahu, selalu tahu, bahkan lewat jeda napas saya saat bicara. Ia membaca kegelisahan dari cara saya berjalan ke dapur, dari cara saya menatap kosong meja makan, dari nada "iya" yang terdengar terlalu berat untuk menipu.
Bahasa Kasih yang Tidak Selalu Diucapkan
Saya tidak tumbuh dengan banyak pelukan atau kata-kata sayang yang diumbar setiap hari. Tapi saya tahu Bunda mencintai saya dengan sangat. Dalam cara ia menyiapkan teh hangat di pagi hari. Dalam caranya mengingat tanggal-tanggal penting saya, bahkan saat saya lupa. Dalam caranya bertanya, "Kamu udah makan?" bukan sebagai basa-basi, tapi sebagai bentuk cinta paling dasar yang bisa ditawarkan seorang ibu.
Cinta orang tua memang jarang spektakuler. Tapi ia konstan. Tidak pernah meninggalkan. Bahkan ketika kita sudah tidak lagi tinggal di rumah, bahkan ketika kita lupa menelepon seminggu penuh, cinta mereka tetap ada—tidak menuntut, hanya menunggu.
Tapi saya belum pergi jauh. Saya masih ada di rumah ini, masih bisa menghirup teh hangat buatannya setiap pagi, masih mendengar langkah kakinya dari arah dapur. Dan mungkin karena itulah, kejujuran menjadi lebih sulit disembunyikan. Tidak ada layar. Tidak ada jeda. Yang ada hanya kehadiran—dan dalam kehadiran itu, segalanya terbaca.
Harapan yang Sederhana, Tapi Dalam
Saya tidak bisa membalas semua yang sudah Bunda berikan. Itu mustahil. Bahkan seumur hidup pun tak akan cukup. Yang saya harapkan hanyalah agar Bunda panjang umur. Sehat selalu. Diberi kemudahan rezeki. Dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Dan semoga saya, meskipun dengan segala keterbatasan saya, bisa menjadi sedikit dari sumber bahagianya.
Saya tahu tidak akan selalu bisa membuatnya bangga. Hidup saya pun tidak selalu berjalan lurus. Tapi saya ingin Bunda tahu bahwa ia adalah alasan saya terus berusaha. Bahwa setiap kali saya ingin menyerah, saya ingat wajahnya. Ingat senyumnya. Ingat suaranya yang selalu memanggil saya dengan nada yang sama sejak kecil, seolah saya tidak pernah benar-benar dewasa di matanya.
Mengakui Kelemahan Bukan Tanda Kekalahan
Banyak dari kita—termasuk saya—tumbuh dengan narasi bahwa kita harus kuat. Harus mandiri. Harus tidak merepotkan. Tapi kadang, menjadi dewasa justru berarti berani mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Dan menerima bahwa tidak apa-apa untuk bersandar. Untuk menangis. Untuk memeluk ibu dan berkata, "Aku lelah."
Saya tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi malam ini, setelah semua tangis reda, saya tahu satu hal dengan pasti: saya tidak sendirian. Saya punya Bunda. Dan selama suara itu masih bisa saya dengar dari ruang sebelah, selama masakannya masih bisa saya cium dari dapur, saya tahu saya akan baik-baik saja.
"Seorang ibu tidak akan pernah menjadi masa lalu. Ia selalu tinggal dalam suara hati kita, bahkan setelah dunia menutup suaranya."
Penutup: Sebuah Doa Kecil Untuk yang Kita Cintai
Tulisan ini bukan sekadar pengakuan rapuh. Ini adalah bentuk cinta yang selama ini tak sempat saya ucapkan. Cinta yang hadir dalam bentuk air mata, jeda, dan doa-doa sunyi yang saya kirimkan setiap malam.
Jika kamu membaca ini dan merasa hal serupa—lelah, bingung, atau merasa belum cukup baik—maka peluk dari jauh. Kamu tidak sendiri. Dan jika kamu masih bisa mendengar suara ibu atau ayahmu hari ini, ambil waktu untuk sekadar bilang: "Terima kasih sudah tetap ada."
Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita lahir. Tapi kita bisa memilih untuk mencintai mereka sebaik yang kita bisa. Dan untuk saya, tidak ada tempat yang lebih jujur selain panggilan itu: Bunda.
Dari Runnilune, yang masih terus belajar.
Ditulis oleh Raihan Khairunnisa.
tags: bahasa indonesia, musing(s)
Kalau kamu membaca ini dan teringat akan ibumu—baik dalam kehadiran maupun dalam kenangan—kamu boleh berbagi ceritamu. Tak harus panjang. Mungkin hanya sepotong momen, atau satu kalimat yang tak pernah sempat kamu ucapkan padanya.
Karena terkadang, kisah tentang ibu bukan hanya untuk dikenang, tapi juga untuk disampaikan.
Tulis di kolom komentar, atau simpan untuk dirimu sendiri—yang penting, jangan biarkan rasa itu hilang begitu saja. :)