Benteng Hidup di Teluk Palu: Pelajaran Nyata dari Akar Mangrove yang Menyelamatkan Nyawa
Kisah Bagaimana Hutan Mangrove di Teluk Palu Menyelamatkan Nyawa di Tahun 2018 dan Menjadi Cetak Biru Masa Depan Pesisir Indonesia
Babak Awal: Ketika Tanah Berguncang, Laut Mengamuk
Senja akhir September 2018, bumi di bawah kaki Andi Anwar berguncang hebat. Sebagai Direktur Yayasan Bonebula—lembaga lingkungan yang sudah lama bekerja mendampingi masyarakat pesisir di Sulawesi Tengah—ia tahu gempa berkekuatan 7,4 magnitudo itu bukan kejadian biasa. Tapi bahkan naluri pengalamannya tak sanggup menebak horor yang menyusul.
Setelah guncangan mereda, langit terasa aneh. Laut di Teluk Palu perlahan surut, memunculkan dasar laut yang biasanya tersembunyi. Hening. Kosong. Memancing rasa penasaran banyak warga. Tapi keheningan itu bukan pertanda aman. Itu adalah jeda maut sebelum datangnya dinding air berwarna coklat pekat. Tsunami.
Setelah Gelombang: Menghitung yang Hilang, Mencari yang Bertahan
Beberapa hari setelah bencana, saat duka masih menggantung di udara, Andi dan timnya mulai menyusuri kawasan pesisir. Rumah-rumah rata dengan tanah. Dermaga rusak. Kapal tersangkut di daratan. Tapi di tengah kerusakan total, mereka menemukan sesuatu yang tak bisa diabaikan.
Di Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Donggala, ada yang berbeda. Di sana, ratusan rumah kayu sederhana masih berdiri. Lingkungan itu relatif aman. Padahal, tidak jauh dari sana, bangunan beton luluh lantak. Bedanya? Bukan pada kekuatan bahan bangunan. Tapi pada keberadaan hutan mangrove.
Dampak bencana tersebut sangat dahsyat, meratakan puluhan ribu rumah dan bangunan serta memakan lebih dari 5.000 korban menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Tengah. Tragedi terparah terjadi di sepanjang pesisir Teluk Palu, di mana sebagian besar korban jiwa bermukim.
Di wilayah yang masih memiliki ekosistem mangrove, banyak rumah kayu sederhana tetap berdiri kokoh. Sebaliknya, di kawasan tanpa mangrove, bahkan bangunan beton pun takluk dihantam gelombang. Perbedaan mencolok ini menjadi pelajaran besar: kekuatan alam hanya bisa dilawan dengan sekutu alami.

Dari Jargon ke Bukti Nyata: Lanskap Darat-Laut Itu Satu
Pelajaran itu menghidupkan ulang istilah yang selama ini hanya jadi jargon konferensi: pengelolaan lanskap darat dan laut terpadu. Sebuah pendekatan yang menekankan bahwa daratan dan lautan bukanlah dua entitas terpisah. Aktivitas di hulu, mulai dari pembukaan hutan, pertanian intensif, hingga limbah rumah tangga dan industri, semuanya akan bermuara ke laut.
Mangrove adalah penjaga gerbang dari sistem itu. Akarnya yang kompleks jadi tempat pembibitan bagi ikan dan udang. Ia menyaring sedimen, menyerap polutan, memperlambat erosi. Tapi yang paling vital: akar-akar itu mampu memecah energi gelombang dan meredam hantaman air pasang ekstrem—termasuk tsunami.
Data pascabencana dari mitra KEHATI, Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, menunjukkan bahwa dari total sisa ekosistem mangrove di Teluk Palu yang hanya tinggal 59,11 hektare, sebanyak 98% atau 58,21 hektare di antaranya ada di wilayah Kabupaten Donggala. Kantong-kantong mangrove inilah yang menjadi perisai terakhir ribuan nyawa.
Komunitas yang Tidak Diam: Menanam Ulang Benteng Mereka
Namun kisah ini tak berakhir sebagai analisis ekologi semata. Dari reruntuhan itu, gerakan baru lahir, menjadi titik tolak aksi kolektif. Yayasan Bonebula, bersama masyarakat Tanjung Batu dan Kabonga Kecil, memutuskan untuk bertindak. Dengan dukungan KEHATI, mereka menggagas restorasi: menanam 10.000 bibit mangrove di sepanjang garis pantai yang rusak.
Ini bukan proyek simbolik. Warga dari berbagai latar belakang—ibu rumah tangga, nelayan, guru, siswa SD—turun ke lumpur. Mereka menyisipkan bibit di sela pasir dan akar, bukan sekadar menanam pohon, tapi menanam ulang rasa aman. Trauma berubah jadi gerakan. Di tangan anak-anak, akar harapan tumbuh kembali.
Semangat ini menyebar cepat ke desa-desa lain. Di beberapa titik, warga mulai melakukan pemetaan mandiri area pesisir yang rusak dan potensial untuk ditanami kembali. Kesadaran tumbuh, bukan karena perintah dari atas, tapi karena pengalaman langsung akan manfaatnya. Inilah gerakan akar rumput dalam arti yang paling harfiah.

Pemandangan itu menyentuh: generasi yang mewarisi trauma kini menanam harapan. Bentuk nyata dari transfer nilai dan tanggung jawab antargenerasi. Dalam senyap lumpur, mereka sedang membangun ulang perisai hidupnya.
Dari Akar ke Gerakan: Mangrove yang Terus Ditumbuhkan
Apa yang dimulai di tahun-tahun awal pascabencana ternyata tidak berhenti sebagai momen sesaat, dan menular ke pantai-pantai lain. Bahkan hingga 2025, di Pantai Dupa, Teluk Palu, masih terus terdengar suara kaki-kaki yang menyusuri lumpur—relawan, mahasiswa, warga pesisir—datang membawa bibit mangrove. Seribu pohon ditanam pada Mei tahun ini, bukan sebagai seremoni semata, tapi sebagai kelanjutan dari janji kolektif yang sudah ditanam sejak 2019.
Di tengah terik dan bau laut, sebuah spanduk digelar. Kertas-kertas hijau bertuliskan pesan pribadi ditempel satu per satu, membentuk siluet pohon bakau—tanda bahwa komitmen tak harus selalu formal. Aksi ini digagas oleh Yayasan Rubalang dan Mangrovers Teluk Palu, dengan dukungan dari Telkom Regional V. Temanya lugas dan bersahaja: "Mari Torang Jaga Laut."
Bagi mereka yang terlibat, menanam mangrove bukan lagi soal penghijauan, tapi perlawanan. Melawan abrasi, melawan amnesia kolektif, melawan anggapan bahwa rehabilitasi cukup dikerjakan sekali. Seperti yang diungkap Hamzah Tjakunu, aktivis lingkungan yang memimpin sesi edukasi saat itu, Teluk Palu memang pernah punya mangrove—meski tak sempurna. Tapi tsunami 2018 adalah pukulan keras yang menyadarkan bahwa akar-akar itu harus dikembalikan.
Beberapa pohon yang ditanam lima tahun lalu kini mulai menyebarkan benih secara alami. Itu bukan sekadar pertumbuhan vegetatif, tapi pertanda bahwa ekosistem sedang bangkit. Bahwa laut, ketika diberi waktu dan kesempatan, bisa menyembuhkan dirinya sendiri—dengan sedikit bantuan dari tangan manusia yang bersungguh-sungguh.
Seperti yang dikatakan Direktur Rubalang, Moh Topan Saputra: satu pohon hari ini bisa menyelamatkan banyak kehidupan esok hari. Di Teluk Palu, perubahan besar benar-benar dimulai dari langkah kecil. Satu akar, satu harapan.
Ekosistem yang Menghidupi, Bukan Hanya Melindungi
Apa yang terjadi di Donggala mencerminkan visi besar yang digaungkan dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia. Forum ini menjadi titik temu bagi ilmuwan, aktivis, jurnalis, hingga pengambil kebijakan, untuk menegaskan bahwa krisis iklim dan degradasi lingkungan hanya bisa dijawab lewat solusi yang menyeluruh, berbasis komunitas, dan bertumpu pada sains.
Toufik Alansar, Manajer Program Ekosistem Kelautan KEHATI, menegaskan arah ini. "Walaupun berangkat dari mitigasi bencana, program konservasi mangrove ini diharapkan memberikan manfaat lain bagi keberlangsungan makhluk hidup, terutama masyarakat sekitar. Hal ini yang ingin kami capai—mendorong pemanfaatan hasil mangrove yang berkelanjutan, dan ini bisa jadi bagian dari ketahanan pangan."
Visi itu kini mulai bersemi. Dua kelompok perempuan terbentuk di desa-desa dampingan, yang dengan kreativitas mereka mengolah buah mangrove menjadi sumber penghidupan baru. Buah Avicennia marina diolah menjadi kue tetu yang gurih. Rhizophora mucronata dijadikan bubuk kopi mangrove yang aromatik. Tumbuhan pakis laut (Acrostichum speciosum) menjadi bahan dasar urap. Daun Pluchea indica dijadikan keripik. Bahkan buah Xylocarpus granatum diolah menjadi bedak dingin tradisional.
Dari dapur-dapur sederhana, ekonomi biru yang inklusif mulai berdenyut. Ekosistem tak hanya melindungi manusia dari bencana, tapi juga memberi makan, memberi pekerjaan, dan memberi harga diri.
Cerita mereka menjalar ke luar desa, menjadi inspirasi bagi komunitas pesisir lain untuk ikut menggali potensi alamnya. Hutan mangrove kini bukan hanya ruang konservasi, tapi juga ruang usaha.
Dari Teluk Palu untuk Indonesia: Saatnya One Plan, One Landscape
Donggala memberikan pelajaran berharga yang melampaui batas kabupaten, yaitu argumen kuat mengapa Indonesia membutuhkan sebuah rencana induk pengelolaan bentang darat-laut yang komprehensif, bukan tambal sulam.
Kisah Donggala membuktikan satu hal: bentang alam tidak bisa diatur sepotong-sepotong. Butuh satu rencana terpadu yang menjahit ulang ruang darat dan laut menjadi satu lanskap hidup.
Proyek SOLUSI (Solutions for Integrated Land and Seascape Management in Indonesia) mencoba hadir untuk meretas sekat-sekat birokrasi, membongkar pendekatan sektoral yang selama ini membuat pengelolaan ekosistem tidak efektif. Seperti yang disampaikan I Nyoman Suyasa dari Politeknik Ahli Usaha Perikanan, dalam rangkaian acara Forum Bumi tanggal 4 Juni 2025, bahwa sejarah panjang tata ruang di Indonesia sedang bergerak menuju harmonisasi. Integrasi ini bukan semata urusan administratif. Ini adalah tentang keselamatan, keberlanjutan, dan keadilan ekologis.
Langkah-langkah seperti pengarusutamaan konservasi ke dalam UU atau pendekatan berbasis wilayah ekologis lintas sektor (ridge to reef), menjadi fondasi awal. Tapi kisah seperti Donggala lah yang menunjukkan bahwa di lapangan, integrasi ini harus nyata dan bisa dirasakan oleh masyarakat.
Kunci dari keberhasilan pengelolaan lanskap terpadu terletak pada sinergi antarpihak: pemerintah, ilmuwan, swasta, dan—terutama—masyarakat lokal. Tanpa itu, kebijakan hanya jadi dokumen. Tapi dengan keterlibatan nyata, setiap pohon yang tumbuh bisa menjadi bukti dari perubahan yang lebih besar.
Epilog: Ketika Akar Tumbuh, Harapan Kembali Bernapas
Kini, dari 10.000 bibit mangrove yang ditanam, sekitar 3.000 telah tumbuh subur. Beberapa bahkan mulai berbuah. Di pesisir Teluk Palu—di mana luka tsunami masih membekas dalam ingatan kolektif—benteng hidup itu kembali berdiri.
Ini bukan sekadar kisah tentang pohon. Ini adalah kisah tentang komunitas yang mengubah trauma menjadi aksi, tentang pengetahuan yang tidak tinggal di jurnal, tapi turun ke lumpur dan dihayati bersama. Ini adalah kisah tentang solusi terpadu yang menyatukan ekologi dan ekonomi, tradisi dan ketangguhan, manusia dan alam.
Kisah Donggala kini telah bertransformasi dari sebuah studi kasus bencana menjadi sebuah laboratorium harapan. Ia menjadi cetak biru (blueprint) nyata tentang bagaimana sebuah rencana induk pengelolaan lanskap bisa dan seharusnya bekerja. Tantangan Indonesia ke depan bukanlah lagi merumuskan kebijakan, melainkan mereplikasi semangat Donggala ke ratusan kabupaten pesisir lainnya.
Karena pada akhirnya, Donggala telah menunjukkan kepada Indonesia bahwa benteng terkuat bukanlah yang terbuat dari beton. Benteng yang paling bertahan adalah yang berakar—di bumi, dan di hati masyarakatnya.
ditulis oleh Raihan Khairunnisa.